Kebijakan insentif pajak memang merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para pengusaha atau pelaku ekonomi di tanah air. Dengan insentif pajak -- dalam artian adanya potongan, pembebasan, atau penundaan pembayaran pajaknya --, maka keuntungan pengusaha bisa menjadi lebih besar, dan ini memberikan dorongan lebih kuat untuk melaksanakan aktivitas produksi. Dengan demikian, aktivitas ekonomi akan menjadi lebih berkembang. Namun di sisi lain, hal ini bisa berbenturan dengan penerimaan negara. Menurunnya pembayaran pajak oleh wajib pajak atau pelaku ekonomi bisa jadi dibarengi dengan penurunan pembayaran pajak ke kas negara. Padahal penerimaan pajak ini dari tahun ke tahun menjadi sumber penerimaan paling penting bagi anggaran pemerintah
Pajak merupakan instrumen fiskal paling penting dalam setiap pemerintahan. Bagi pemerintahan yang maju, pajak menjadi sumber pendapatan utama dalam anggaran belanja negaranya (APBN). Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia. Dari Tabel 1 terlihat betapa kecenderungan penerimaan pajak meningkat dari tahun ke tahun. Pada era tahun 1970-an dan awal 1980-an porsi pajak atas anggaran pemerintah ini masih sangat kecil. Bagian besar penerimaan pemerintah berasal dari non-pajak, terutama dari penerimaan minyak dan gas yang menjadi penopang utama anggaran pemerintah waktu itu. Namun sejalan dengan dengan kemajuan ekonomi nasional, yang sehingga kemampuan para wajib pajak juga meningkat, porsi pajak dalam penerimaan negara semakin besar. Tahun 2003 yang lalu, porsinya sudah lebih dari 75%.
Apakah dengan situasi seperti sekarang Pemerintah, terlebih Ditjen Pajak, mau mengurangi tarif pajak atau memberi insentif pajak lainnya yang berpotensi mengurangi kenaikan penerimaan dari pajak tersebut? Dengan melihat target-target yang dicanangkan pemerintahan saat ini agaknya hal tersebut kecil kemungkinan dilakukan jika berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Ditjen Pajak tentu tidak berani berspekulasi jika itu akan mempersulit mereka mencapai target yang ditentukan. Hal ini terkait dengan target penerimaan pajak yang tinggi dari pemerintah. Ketika melakukan inspeksi ke Ditjen Pajak 27 Oktober lalu, secara tegas Presiden menargetkan naiknya tax ratio (rasio pajak terjadap PDB) menjadi 19% tahun 2009 mendatang. Padahal tax-ratio saat ini hanya sekitar 13,5%. Ini berarti aparat harus kerja keras jika ingin mewujudkan target yang spektakuler itu. Sekedar gambaran betapa sulitnya untuk mencapai target tersebut, kenaikan tax ratio selama sepuluh tahun terakhir ini sangat kecil, yakni dari 12,2% pada tahun 1994/1995 menjadi sekitar 13,5% tahun lalu. Menurut kajian Chandra Budi (Kompas 17/11/2004), dari tahun 2001 sampai dengan 2005 rata-rata peningkatan penerimaan pajak hanya sebesar Rp 0,2 triliun per tahun atau hanya menaikkan rasio pajak sebesar 0,009%. Untuk mencapai kenaikan rasio pajak seperti yang ditargetkan di atas, rata-rata 1,0% per tahun, berarti harus ada peningkatan 118,8 kali lipat!!
Dengan gambaran seperti ini jelas berat bagi Ditjen Pajak memberikan berbagai insentif jika hal itu bisa berakibat menghambat target penerimaannya. Namun demikian secara teoretik sebenarnya tidak selalu demikian. Pemberian berbagai insentif pajak tetap dapat meningkatkan penerimaan total pajak, walaupun ada insentif penurunan penerimaan pajak ataupun fasilitas seperti tax holiday. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pemberian insentif pajak ini sebagai bagian untuk mendorong penggairahan dunia usaha. Adalah positif rencana pemerintah untuk memberikan berbagai insentif pajak tahun ini, antara lain investment allowance sebesar 30% untuk sektor tertentu di darah tertentu; penurunan pajak dividen, pengikatan penghitungan masa kerugian dari lima tahun menjadi 10 tahun (perpustakaan.bappenas. go.id) Rencana Penurunan Pajak Penghasilan Badan 30% dari nilai investasi untuk industri tertentu dan lainnya tersbut bisa menjadi pendorong untuk kegiatan industri, yang pada akhirnya bisa meningkatkan penerimaan pemerintah. Dalam hal pemberian insentif pajak ini mungkin tidak berlebih jika kita belajar dari Singapura yang memberikan demikian beragam insentif pajak pada pelaku ekonomi di negeri tersebut.
Satu teori yang sangat tekenal yang terkait dengan insentif pajak yang berupa penurunan tarif pajak ini dikemukakan oleh Arthur Laffer dari the University of Southern California pada tahun 1970-an, yang mempopulerkan gagasan untuk menurunkan pajak. Menurut teori yang dikemukakannya, yang merupakan bagian penting dari teori dari kelompok ekonom aliran supply side economics (dikenal juga dengan Reaganomics), pemotongan pajak (tax cuts) akan dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah. Logikanya, jika pajak sudah terlalu tinggi, orang malas untuk berproduksi, melaksanakan aktivitas ekonomi ataupun investasi. Karena keuntungan atau pendapatannya akan ditarik ke kas pemerintah melalui pajak yang tinggi tersebut. Dalam kondisi demikian, penurunan tarif pajak bisa menjadi pendorong untuk menggairahkan produksi. Dengan bergairahnya pelaku ekonomi berproduksi, walaupun tarif pajak menurun, secara absolut penerimaan pajak akan meningkat. Ini dilukiskan dengan apa yang disebut sebagai Laffer Curve.(Gambar)
Penerapan teori ini memang harus berhati-hati dan melalui kajian yang mendalam. Penurunan jenis pajak tidak harus menyeluruh, melainkan untuk jenis-jenis yang tingkat tarifnya sudah terlalu tinggi. Jadi memerlukan suatu kejian dan melihat kasus per kasus. Simulasi aplikasi Laffer Curve ini dapat dilihat dari kajian yang dilakukan Permana Agung (2004: 254-272) pada tarif cukai tembakau, yang hasilnya ada yang dapat meningkatkan penerimaan pajak di samping yang sebalinya. Simulasi bisa dilakukan misalnya untuk penurunan PPH Badan secara selektif seperti yan disiratkan di atas, ataupun atas PPN, dan jenis pajak lainnya. Namun demikian penurunan tarif pajak ini juga perlu dicermati, karena jangan sampai yang tejadi bukannya mendorong produksi, melainkan meningkatkan konsumsi.
Tanpa menafikan pentingnya insentif pajak untuk mendorong dunia usaha saat ini sebenarnya kita perlu melihat juga variabel-variabel lain yang dapat merangsang aktivitas usaha tersebut. Ada pandangan bagi pengusaha kita saat ini yang sangat diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan bisnis adalah apa yang diformulasikan dengan unsur “3L + 1I” sebagai dasar pengambilan keputusan untuk investasi.. Yaitu: law enforcement, labour, local (pemerintahan daerah/otonomi), serta infrastruktur. Hal ini berkmakna bahwa masalah penegakan hukum, perlu diperbaki agar ada kepastian aturan dan usaha yang jelas. Aturan ini juga termasuk bidang perizinan dan perpajakan yang sejauh ini dinilai “bisa” ditawar dan kurang memberikan kepastian, dan sebagainya. Demikian pula dalam hubungan dengan ketenagakerjaan. Pengusaha misalnya, merasa selalu disudutkan kalau berhubungan dengan masalah perburuhan, dan sulit sekali untuk melakukan rasionalisasi atau pemutusan hubungan kerja, soal upah buruh, ketentuan cuti, dan sebagainya dianggap menyulitkan posisi pengusaha. Sementara di sisi lain para buruh merasa dieksploitasi oleh pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarmya. Pelaksanaan otonomi daerah juga sering menjadi rintangan bagi pelaku ekonomi untuk nvestasi di daerah-daearh. Adanya ketentuan-ketentuan lokal yang tidak jarang bertentangan dengan ketentuan Pusat, atau memberatkan investor di daerah, mengurangi hasrat pelaku ekonomi untuk melaksanakan kegiatan di daerah-daerah-daerah tersebut. Persoalan infrastruktur yang terbatas dan terkonsentrasi pada daerah tertentu juga perlu didorong pembangunannya. Berbagai variabel atau masalah di atas sangat perlu mendapat perhatian jika kita ingin menggairahkan dunia usaha, di samping memberikan insentif pajak.
Dalam upaya menarik investor ini Indonesia tidaklah sendirian. Kita bersaing dengan banyak negara lain. Namun sayangnya tingkat kenyamanan untuk melaksanakan bisnis di Indonesia sangat rendah. Bahkan menurut Political Economic Research Consultancy (PERC, 2002), masuk terburuk nomor dua setelah India diantara 14 negara yang disurveinya (lihat Tabel). Dari tabel terlihat pula Indonesia juga menempati posisi terburuk dibandingkan dengan negara lainnya dalam hal kualitas sistem perpajakan (skor 8,67). Peringkat pertama terburuk bagi Indonesia juga dalam hal pembajakan hak milik intelektual (skor 9,83), ada/tidaknya monopoli/kartel (8,67), serta kemampuan peradilan melindungi hak milik intelektual dengan skor maksimal: 10! Sedangkan faktor birokrasi yang terkait dengan sogokan (red tape) menempati peringkat kedua terburuk (setelah India) dengan skor sebesar 9,33.
Data ini mengingatkan bahwa banyak hal yang perlu dilakukan selain memberikan insentif pajak untuk mendorong dunia usaha. Dapat dilihat tingkat pajak Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara yang disurvey tersebut, yakni peringkat ke-4 terendah beban pajaknya. Dengan lebih nyamannya melaksanakan kegiatan investasi di negara-negara lain tersebut, tentu menjadi sulit bagi Indonesia untuk mengundang pelaku bisnis berinvestasi. Inilah yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan saat ini.
Sumber: "Makalah dalam Seminar Nasional Ekonomi “Kebijakan Insentif Pajak untuk Merangsang Perkembangan Dunia Usaha” di Universitas Wijayakusuma Purwokerto, 23 April 2005. Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec